FKA

FKA (BARENG-BARENG MAU KE UNGKALAN)


                 Ini adalah pertama kalinya FKA mengadakan pertemuan yang bertempat di Balai Desa Sumberejo, Tampak sebelah kiri Bapak khusnul dari Korkot juga hadir, dalam kesempatan ini Bapak khusnul sedikit memberikan sambutan yang intinya sangat mendukung sekali dengan adanya FKA. Dengan harapan adanya FKA komunikasi antar LKM akan tercipta sehingga ketika ada permasalahan kita selesaikan secara bersama-sama.


LSM Oh LSM, Nasibmu Kini
(Menyikapi kata “Pengertian” ala LSM)



Dunia pemberdayaan merupakan dunia yang begitu luas konotasinya. Pemberdayaan sejatinya bukanlah sebuah konsep memberdayai maupun membuat seseorang menjadi subyek yang tidak berdaya. Dewasa ini banyak sekali agen-agen pemberdayaan tumbuh menjamur dimana saja, baik yang bersifat individu maupun kolektif atau yang lebih lazim disebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada saat ini laju pertumbuhan LSM sangatlah cepat, bahkan mengalahkan jumlah cepatnya pertumbuhan beton dan bangunan-bangunan lainnya (mungkinkah ada hubungan yang signifikan). Banyaknya LSM yang ada pada saat ini tentunya sesungguhnya memiliki dampak yang kita harapkan baik. LSM sebagai lembaga yang bersifat Swadaya (bukan pencari Swadana) diharapkan mampu memberikan kontrol yang bersifat penyeimbang bagi laju kebijakan yang dinilai kurang berpihak pada rakyat.

Seiring perkembangan jaman jenis-jenis LSM pun kini semakin bermacam-macam pula bahkan semakin profesional menurut bidangnya masing-masing, dari LSM yang yang membidangi pendidikan, gender, lingkungan, pembangunan bahkan sampai masalah kamtibmas (mungkin kini semakin parah tingkat penurunan kepercayaan masyarakat terhadap aparat sampai dipandang perlu ada). Jika dilihat dari penampilannya pun kini LSM terkesan semakin necis saja (mungkin bisa dibilang mengalahkan nenek-nenek 75 tahun yang sedang puber ke 5) seragam safari, sepatu kulit dengan semir anti debu lengkap dengan tanda pengenal ala wartawan bahkan mungkin sampai yang ala detektif conan. Jika menilik dari tujuan awal dari organisasi kemasyarakatan yang ber-platform membela hak-hak kaum lemah dari cengkeraman kebijakan penguasa, maka apakah penampilan yang demikian tidak malah menimbulkan rentang jarak yang demikian jauh antara LSM dengan objek yang didampinginya..???. beberapa tahun yang lalu saya sempat mempelajari mengenai bagaimana menjadi pendamping-pendamping bagi masyarakat terpinggirkan. Memahami tentang bagaimana Advokasi, Mediasi sampai pada tahap pemberdayaan yang mandiri merupakan sebuah hal yang menarik, terlebih ketika kita melihat nilai-nilai luhur dari kearifan lokal yang tentunya harus kita jaga kelestariannya. Dari pengalaman terjun dalam dunia tersebut maka kini kembali muncul sebuah kerinduan terhadap mereka-mereka yang sering dianggap sebagai malaikat kumal berhati putih (maklum pada era saya dulu mereka yang terjun mendampingi masyarakat hampir semuanya tampil sederhana ala masyarakat yang didampingi) maklum pada saat banyak sekali aktivis yang mungkin terlalu asiknya terlibat mendamping permasalahan masyarakat sampai lupa terhadap bagaimana cara berdandan bahkan ada yang sampai lupa menjalankan sunnah untuk mencari pendamping hidup. Bagi mereka hidup bermasyarakat di daerah pendampingan dengan berbagai nilai kearifan lokalnya lebih berharga dari segalanya, bahkan lembaran-lembaran surat sanjungan (baca: surat penghargaan).

Melihat tren LSM pada saat ini benar-benar membuat prihatin, bahkan mungkin dapat membuat mereka yang menjadi penggagas awal konsep LSM mengalami stroke akut. Banyak sekali kini LSM yang mungkin sudah lupa dengan hal tesebut (atau mungkin sengaja lupa mengkuti tren “penyakit lupa” dari mereka yang diduga tersandung masalah Century ketika disidik anggota Pansus). LSM yang sebenarnya kekuatanya bersifat mandiri baik dari segi pendanaanya maupun Operasionalnya kini telah berubah menjadi sebuah monster kapal keruk bagi kantong-kantong pribadi mereka yang tidak bertanggung jawab. Berbekal seragam sakti (mengalahkan seragam dinas gatot kaca) sampai tanda pengenal ala film-film detektif luar negeri. Membawa-bawa nama institusi penegak hukum pun menjadi sebuah bumbu yang pas dalam menjalankan aksi, sampai-sampai membeberkan trek record-nya dalam mendaftarkan oknum untuk kost di balik jeruji besi. Aneka trik pun dijalankan mulai dari provokasi, managemen konflik, intimidasi yang jauh dari nilai-nilai luhur LSM pun dihalalkan demi keampuhan dari kata-kata “mohon pengertiannya”. Kata-kata “mohon pengertianya” ini memang terdengar ringan, namun bilamana hal ini dibungkus dengan intimidasi terhadap kesalahan-kesalahan yang mestinya bukan untuk dijadikan masalah. Tentunya dapat menjadi senjata pamungkas agar kapal keruk mendapatkan hasil berupa angpau dari mereka yang dianggap salah jalan. Maka dalam hal ini masih pantaskah LSM berteriak untuk menjalankan roda reformasi yang telah diperjuangkan para mahasiswa..........??? masih pantaskah mereka berteriak tentang slogan-slogan anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Barangkali kini masalah suap telah membudaya karena mungkin tidak cukup seorang “Gayus” saja yang pantas beraksi dengan trik-triknya. Atau mungkin kini masalah intimidasi yang berujung suap perlu dijadikan mata pelajaran khusus bagi anak-anak kita........?????? mengingat prospeknya untuk menghidupi keluarga dirumah dipandang lebih halal daripada merampok. Mungkin kini saatnya kita kembali ke awal dimana tujuan keberadaan LSM adalah mendampingi, memberikan solusi terhadap masalah dan mendidik masyarakat tentang bagaimana pelaksanaan pembangunan yang baik.